Rabu, 24 November 2010

musik populer

musik populer adalah musik yang digemari banyak orang karena lirik nya mudah diingat.
Artikel:

Musik Pop Indonesia: Satu Kebebalan Sang Mengapa

Oleh Remy Sylado
(dimuat di jurnal Prisma, Juni 1977, halaman 23-31)

Dan barangkali ini celakanya: pop sudah diterima sebagai suatu aib. Orang tak suka lama-lama menyiapkan hati pada diskusi pop, lantaran khawatir kehilangan penghargaan umum terhadap kesesungguhannya berfikir.

Tak bisa dimaki-maki orang yang mau begitu. Pop pada awalnya memang telah hadir dengan mengundang satu nyinyir di bibir. Ia musik yang terhujat dari keluarganya. Bukan semata di Indonesia. Tapi juga dimulai di Amerika, dari mana perdagangan seni model begini ditemukan orang resepnya.

Dari sudut estetika ia telah tumbang kehilangan hak jawabnya. Ia tak tahan kritik. Berhakim-hakim perikata kritik, berarti keawasan menghadapi obsesi dengan menerawangkan akal dan budi untuk melayani satu pokok perumusan kaidah, di mana kita dibawa pada hak penentuan obyektif atas pilihan baik-buruk, bagus-jelek, indah-tak indah. Namun, raja-raja pop, yaitu mereka yang telah memulai matapencaharian ini lebih kurang 20 tahun lalu lewat bengak-bengok seadanya di belakang mikrofon dengan akompanimen gitar melodi, gitar kocok, bas betot dan bedug Inggeris, ikhwalnya tidaklah pula suka memberi pertanggungjawaban kenapa musik pop jadi begitu sembarang.

Para cendekia musik yang agak punya latar-belakang klasik, mencela habis pop sebagai seni-seni yang istilah Inggeris-nya: dumb, vulgar, cheap, tasteless, rough, crude, degrading, uninspired. Tapi raja-raja pop yang sudah kayaraya karena pop, seperti Elvis Presley yang setiap kali bisa memberi hadiah Cadillac pada siapa saja yang memujanya, rupa-rupanya memang enggan memberi jawaban tentang itu.

Mudah-mudahan saja bab engganya pemusik pop memberi pertanggungjawaban, bukan sebab karena mereka bodoh, tapi karena bidang ini yang sudah biasanya memanjakan mereka untuk tidak usah panjang-panjang berfikir.

Musik pop adalah musik niaga. Maka jika pemusik pop diminta berfikir, mereka akan berfikir tentang laba. Orang yang mencipta, menyanyi, dan jadi cukong untuk merekam lagu pop, adalah orang yang tak memikirkan soal apakah yang direkamnya itu punya nilai etis, dan apakah seni itu tahan uji terhadap sebuah kritik yang artinya estetis, atau tidak. Yang difikirkannya adalah bagaimana jika rekaman itu rampung dan diiklankan selama sebulan di TVRI dengan biaya Rp 2,5 juta, lantas darinya ia mendapat laba Rp 25 juta.

Tidaklah mengherankan kalau kedudukan pop menjadi amat manja. Masyarakat memanjakan mereka. Seorang penyanyi pop di Indonesia yang sekolahnya tidak keruan yang menghafal nyanyian bahasa Inggeris dengan fasih kendati tak faham seluruh isi syair kecuali I love you-nya wungkul, telah menjadi amat manja, sebab dengan kemampuan yang pas-pasan itu saja tokh masyarakat telah memuliakan dia.

Jika kita datang ke rumah seorang penyanyi pop Indonesia dari jenis kelamin betina, jangan lupa tanyakan berapa jumlah vandel yang dia punyai semenjak teken diri sebagai biduanita pop. Ibu sang penyanyi dengan gratis akan turut jadi gong dalam pembicaraan putrinya. Sang ibu akan menyanjung putrinya itu. Acapkali sang ibu malah lebih ngepop daripada puterinya. Saya pernah memotret seorang penyanyi pop asal Sidoarjo di mana ibunya ujug-ujug tampil minta dipotret juga. Dia langsung berdiri di belakang bunga, lantas action memainkan senyumnya. Nyonya Perancis pun kalah.

Memang, dunia pop kerap kali membuat orang ngenas ketawa. Ia telah merubah orang-orang pop jadi padede, kenes, genit, cengeng, gembeng dan seterusnya. Masyarakat pun terlalu berlebih-lebihan memuliakan mereka, dan mengakibatkan timbulnya semacam kepercayaan dalam anggapan mereka, bahwa apa yang mereka perbuat adalah mulia, dan oleh sebab itu republik harus berterimakasih pada mereka. Saya ingat juga seorang penyanyi pop lainnya dari Semarang yang gambarnya banyak ditempel di dalam iklan-iklan minyak-gosok. Suatu ketika dia muncul di TV. Dia menyanyikan O Little Darling, lagu rock tahun 50-an. Goyang pantatnya sungguh habis-habisan. Rupanya tak ada reserve lagi. Sebegitu jauh, ada sesuatu yang kelihatan sia-sia. Bahwa kendati goyang itu sudah sukses meniru Aretha Franklin, ternyata ada hal-hal yang mengacau perasaan. Yaitu rohaninya tidak mengizinkan untuk menjadi Amerika. Dia tetap Melayu dari latarbelakang social encim-encim.

Pandangan itu saya tulis di majalah. Dan apa kata maminya? “Jangan mengkritk anak saya dong. Dia kan menyanyi untuk masyarakat Indonesia. Mestinya masyarakat Indonesia berterimakasih pada dia,” kata ibunya. Astagfirullahaladim!

Ratusan nona yang maju dalan pertandingan-pertandingan pop, baik yang berada di daerah, maupun di tingkat nasional seperti yang pernah diselenggarakan di Jakarta Theatre atau Convention Hall, rata-rata berangkat berangkat dari titik-tolak mimpi-mimpi seperti itu. Sudah jadi model juga bahwa ke mana-mana mereka pergi untuk memenuhi undangan menyanyi, pasti ibunya ikut juga. Panitia-panitia yang bepengalaman dalam showbiz malahan biasanya menyediakan tiket pesawat sebanyak tiga buah. Satu untuk sang penyanyi, satu untuk sang ibu, dan satunya lagi untuk sang babu.

Di Indonesia sekarang urusan pop ditangani oleh orang Nippon. Mereka punya perusahaan yang meniagakan alat-alat musik. Mereka mendirikan yayasan yang menbuka kursus-kursus untuk memainkan alat-alat musik tadi. Dan setahun sekali mereka menyelenggarakan festival pop tingkat nasional. Dan berhubung ada kata nasional dalam usaha itu, maka itu artinya silakan berbicara kecerewetan pop dengan mengatas-namakan bangsa. Tak heran hasrat anak-anak Indonesia untuk ikut dalam festival itu bukan alang-kepalang besarnya. Rangsangan cukup menggoda, Yaitu pemenangnya akan jadi wakil bangsa dalam festival dunia di Tokyo.

Tapi apa mau dikata. Harapan untuk memberi getaran tentang arti nasional di negeri orang-orang Nippon itu sampai saat ini tumbang melulu. Indonesia tak pernah memasuki final dalam festival itu. Berkali-kali pemusik dan penyanyi pop Indonesia pulang ke tanah airnya dengan gigit jari.

Lagu “Renjana” yang tahun 1976 dibawa ke Tokyo malah mengundang gunjingan. Pertama, lagu itu dibuat oleh seorang putera bekas Presiden Republik Indonesia. Kedua, cara menentukan kemenangan dengan kupon yang dibeli masyarakat dikatakan ada penyelewengan. Ketika lagu itu ternyata gagal, Mus Mualim, suami Titiek Puspa yang menang dua tahun sebelumnya, serta merta mengatakan bahwa “Renjana” terlalu ideal hingga meleset dari selera para juri di Tokyo yang maunya rendah-rendahan. Yang agak arif tentu saja mendengar teori Mus Mualim dengan sedikit harapan agar moga-moga pandangan yang telah dirilis oleh suratkabar itu, tidaklah terlalu banyak salahnya.

Contoh Lagu Populer:

Setengah Mati

mengapa waktu tak pernah berpihak kepadaku

apakah aq terlalu terlalu banyak berkelana

mengapa qta msih saja tak pernah bisa bersatu

selalu saja bertemu

bertemu saat kau milik yang lain

mungkin kau bukanlah jodoh ku bukan takdirku

terus terang

aq merindukanmu,setengah mati merindu

tiada henti merindukanmu

masih hati ku untukmu

aku tetap menunggumu....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar